
Program MBG merupakan langkah strategis untuk membangun generasi emas Indonesia 2045. Tujuannya mulia. Namun, “gratis” hanyalah ilusi. Di balik setiap ”piring nasi bergizi”, tersembunyi biaya oportunitas yang harus dibayar oleh sektor lain, terutama sektor pendidikan.
PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu janji saat kampanye pasangan Prabowo dan Gibran. Program MBG secara resmi diluncurkan pada 6 Januari 2025. Program ini telah dimulai di berbagai daerah dan diharapkan menjangkau seluruh anak Indonesia pada akhir 2025.
Pemerintah akan melanjutkan program dengan target 82,9 juta penerima manfaat pada akhir November 2025. Dengan estimasi penerima manfaat mencapai jutaan siswa, program tersebut akan menjadi salah satu kebijakan sosial terbesar.
Program MBG merupakan kebijakan strategis yang digagas untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 dengan memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kebijakan ini berfokus pada penanggulangan masalah gizi buruk dan stunting, terutama di kalangan kelompok rentan seperti balita, anak-anak, ibu hamil, dan menyusui.
Dengan tujuan yang sangat baik, pertanyaan yang muncul adalah apakah Program MBG benar benar gratis?
Program MBG merupakan langkah strategis untuk membangun generasi emas Indonesia 2045. Tujuannya mulia. Namun, “gratis” hanyalah ilusi. Di balik setiap ”piring nasi bergizi”, tersembunyi biaya oportunitas yang harus dibayar oleh sektor lain, terutama sektor pendidikan.
Biaya MBG
Setiap kebijakan, seberapapun mulianya, selalu beriringan dengan biaya. Dan bagi MBG, biaya itu ternyata teramat besar. Permasalahannya adalah sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah, yaitu APBN, jumlahnya relatif terbatas untuk pembiayaan MBG tersebut.
Adanya keterbatasan sumber daya mengharuskan pemerintah harus merealokasikan atau mengalihkan anggaran dari program lainnya ke MBG.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 besaran anggaran untuk program MBG sebesar Rp 335 triliun sepanjang tahun 2026. Anggaran MBG pada 2026 meningkat tajam sebesar 96 persen dari tahun 2025 sebesar Rp 171 triliun.
Dari mana sumber pembiayaan MBG tersebut? Pembiayaan program MBG yang akan dijalankan pada tahun 2026 tersebut salah satunya pengalihan dari anggaran pendidikan.
Anggaran pendidikan dalam APBN merupakan anggaran yang sifatnya mandatori. Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 mengamanatkan bahwa porsi anggaran untuk pendidikan adalah 20 persen dari APBN.
Pada tahun 2026, sesuai dengan proporsi 20 persen RAPBN maka anggaran untuk pendidikan tersebut besarannya sejumlah Rp 757,8 triliun. Namun dari jumlah itu sebagian besar yakni sebanyak Rp 335 triliun atau hampir separuh (44,2 persen) digunakan untuk membiayai program MBG. Ini adalah sebuah biaya pengorbanan yang tidak kecil.
Dampak Pengalihan
Dampak jangka pendek pengalihan dana pendidikan untuk membiayai program MBG pada sektor pendidikan terutama terkait dengan penyediaan infrastruktur, pustaka, bahan ajar, pengembangan guru dan dosen serta pendanaan riset. Hal ini berpotensi dapat menggerogoti fondasi kecerdasan.
Dalam jangka panjang, pengalihan dana dari sektor pendidikan dapat berdampak pada tingkat literasi, kreativitas dan inovasi, serta jumlah dan kualitas riset untuk mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan mendukung inovasi baru yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan yang baik akan menghasilkan SDM yang berdaya saing sehingga mampu berkompetisi di pasar tenaga kerja domestik maupu pasar global.
Efektivitas Kebijakan
Karena itu, pemerintah perlu meninjau kembali skala dan metode pelaksanaan MBG. Pelaksanaan program MBG perlu dijalankan dengan lebih efisien, lebih tepat sasaran, sehingga dapat menjangkau mereka yang paling membutuhkan tanpa harus mengorbankan sektor-sektor krusial lainnya.
Cara yang bisa dilakukian adalah dengan mengintegrasikannya ke dalam program bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH). Kenerima manfaat diberi kepercayaan dan pendampingan untuk mengelola anggaran gizi mereka.
Program MBG bukan hanya tentang memberikan makanan, tetapi membangun masa depan yang berkelanjutan. Dan masa depan itu dibangun bukan hanya di atas perut yang kenyang, tetapi juga di atas pikiran yang terdidik.
Keseimbangan harus ditemukan, agar ”makan siang” yang bergizi ini tidak menciptakan ”utang” pendidikan bangsa pada masa depan.
- Penulis, Ag Edi Sutarta SE MSi, Dosen FBE Universitas Atma Jaya Yogyakarta
 
Tulisan ini diterbitkan di https://www.bisnisjogja.id/dilema-kebijakan-makan-bergizi-tidak-gratis/
Editor: Angelina Komala




