
Di seputar gegap-gempita perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, tragisnya, publik justru makin sering disuguhi rangkaian kebijakan yang memicu dan memacu kegaduhan, terutama di bidang sosial-ekonomi. Kebijakan publik dirasakan oleh publik sebagai kebijakan yang tidak memerdekakan. Artinya, tidak memberikan kebebasan, otonomi, dan pemberdayaan kepada warga maupun kelompok masyarakat. Dengan kata lain, yang terjadi adalah justru menimbulkan hiruk-pikuk masalah di masyarakat serta berpotensi merusak kepercayaan publik kepada penyelenggara negara.
Inilah yang mencuat luas akibat sejumlah kebijakan publik belakangan ini, atau setidaknya pernyataan pejabat publik, seperti pemblokiran rekening oleh PPATK, nasib tanah yang dibiarkan nganggur selama dua tahun, kenaikan tarif PBB-P2 yang sampai mencapai ribuan persen, juga soal guru adalah beban negara. Kendati pun keputusan-keputusan ini kemudian dianulir, dianggap sekadar salah ucap atau guyon semata, publik sudah telanjur merekamnya.
Tentu masih banyak lagi contoh yang bisa disajikan, tetapi publik melihat semua itu sebagai indikasi bahwa para pengambil kebijakan seakan makin jauh dari kepekaan sosial. Memang sudah jamak bahwa sebuah kebijakan pasti akan berdampak pada masyarakat. Justru karena itu, yang harus dilakukan sejak awal dalam perumusan kebijakan publik harusnya mempertimbangkan dampaknya pada kelompok yang paling rentan.
Kepekaan sosial jelas tidak ada ketika kebijakan diputuskan berlaku pukul rata dengan semata-mata mengedepankan logika fiskal ataupun administratif. Yang tampak adalah kengototan dan arogansi untuk memaksakan kebijakan yang tidak adil dan ini justru makin memperkuat logika publik bahwa para pejabat pengambil keputusan sengaja mengabaikan kepekaan sosial.
Ketika logika publik bertabrakan dengan logika arogansi kekuasaan, sudah pasti publik merasa kemerdekaannya terampas. Tambah lagi, di tengah himpitan ekonomi yang makin menjadi-jadi, tidak sedikit pejabat publik yang justru memamerkan gaya hidup mewah. Maka tidak heran ketika publik pun sampai pada kesimpulan bahwa para pejabat publik sejatinya minim empati terhadap masyarakat dan kesejahteraannya.
Selain soal minimnya kepekaan sosial, munculnya kebijakan yang tidak memerdekakan publik dapat dipicu oleh tidak memadainya kompetensi dalam perencanaan kebijakan. Bisa jadi banyak keputusan diambil tanpa didahului dengan riset yang kokoh, uji cobanya terbatas, ataupun luput dari analisis risiko. Yang utama sering kali hanyalah pertimbangan politik jangka pendek yang mengalahkan perencanaan strategis jangka panjang.
Ketika keterampilan, pengetahuan, maupun sikap dari si pembuat kebijakan tidak prima, maka kebijakan atau keputusan yang diambil pun segera saja menimbulkan kegaduhan di sana-sini. Tanpa meritrokasi politik yang benar, sulit untuk mengharapkan tidak berulangnya kebijakan-kebijakan yang minim empati. Ruang berulangnya kebijakan seperti ini justru terbuka lebar ketika kekuasaan atau jabatan diberikan tidak berdasarkan kemampuan, prestasi, dan kualifikasi, melainkan lebih kepada aspek status sosial, kedekatan personal dan politik, bahkan kemampuan finansial belaka.
Bersamaan dengan itu, kegaduhan di level bawah seperti di kabupaten/kota tak urung adalah juga cerminan dari public leadership di sektor publik yang lemah secara sistemik, baik secara individual maupun kolektif/kolaboratif. Kepemimpinan publik yang buruk membuat keputusan atau kebijakannya tidak membuat nyaman publik. Maka muncullah resistensi publik terhadap keputusan semacam ini, dalam beragam bentuk mulai dari aksi diam secara individual sampai pada gerakan massa untuk menggagalkan keputusan ataupun menganulir kekuasaan sang pejabat publik.
Bersamaan, juga tampak lemahnya collaborative leadership, yakni kepemimpinan lintas organisasi-sektor-daerah yang juga sering dibutuhkan. Kepemimpinan kolaboratif yang mestinya bertujuan menghasilkan kemaslahatan publik justru direduksi menjadi cara pemuasan impian atau kepentingan pejabat publik semata. Misalnya, demi berjalannya kebijakan di tingkat atas, maka pejabat publik di bawahnya harus menerima berbagai tekanan dan pemangkasan anggaran. Kebijakan-kebijakan baru sebagai upaya survival di tingkat bawah pun ujung-ujungnya hanya menambah tekanan hidup masyarakat.
Untuk mencegah terjadinya kebijakan publik yang meresahkan, yang dibutuhkan tidak lain utamanya adalah komitmen politik yang kuat. Selebihnya, sebetulnya sudah sangat dipahami bahwa perumusan kebijakan publik haruslah didasari kajian yang komprehensif sehingga implikasi sosial-ekonominya terukur secara seimbang. Begitu pula, sosialisasinya tidaklah bisa sekadar main perintah, apalagi secara arogon dan makin tampak tidak profesional.
Setiap ada kebijakan baru harus pula dipahami sebagai sebuah proses transisi yang membutuhkan langkah-langkah perlindungan bagi kelompok masyarakat yang paling terdampak. Di sinilah dibutuhkan kejelasan mekanisme transisinya. Sebagai contoh, mengapa pemblokiran rekening tidak didahului dengan notifikasi kepada pemilik rekening? Dengan demikian, dibutuhkan transparansi di balik kebijakan yang dirumuskan karena publik berhak untuk tahu hal ini. Dan transparansi inilah yang juga menentukan kepercayaan publik kepada pemerintah.
Kebijakan publik yang tidak memerdekakan publik jelaslah bukanlah sekadar masalah teknis belaka. Tak urung ini menegaskan adanya kebutuhan untuk membereskan tata kelola pemerintahan yang di mata publik tampak terus kedodoran. Bila tidak ingin memperlebar jarak antara pemerintah atau pejabat publik dengan masyarakat, maka jangan terus memproduksi kebijakan publik yang berbuah kekisruhan, kegaduhan, dan tidak memerdekakan publik. Kuatkan proses perumusan kebijakan yang terukur, partisipatif, dan memiliki kepekaan terhadap realitas sosial di masyarakat.
Bagaimana pun, kebijakan publik bukanlah sekadar angka di kertas anggaran, melainkan menyangkut hayat hidup beratus juta warga, yang memiliki hak untuk dihormati dan mendapatkan perlakuan secara bijak.
Penulis: Aloysius Gunadi Brata
Tulisan ini terbit di https://kumparan.com/aloysius-gunadi-brata/kebijakan-publik-yang-tidak-memerdekakan-25gMIfPic2i/full
Editor: Angelina Komala




