
Presiden Prabowo Subianto (kiri) disaksikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memberikan pengantar saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (5/5/2025). AntaraFoto/Galih Pradipta
Istilah too big to fail merujuk pada entitas bisnis, khususnya lembaga keuangan, yang sangat besar dan jejaringnya luas, harus didukung atau diselamatkan oleh pemerintah saat terancam kolaps.
Di dunia keuangan dan perbankan ada satu istilah kondang, yakni too big to fail. Artinya, terlalu besar untuk gagal.
Istilah ini menunjuk pada entitas bisnis. Khususnya, lembaga keuangan, yang sangat besar dan jejaringnya luas, harus didukung atau diselamatkan oleh pemerintah ketika sedang dihadapkan pada potensi kolaps.
Istilah ini juga menunjukkan bahwa kegagalan atau kebangkrutan entitas-entitas besar ini sangat berbahaya bagi perekonomian. Idiom ini sering dikaitkan dengan krisis keuangan di AS, seperti pada 2008 saat krisis yang diawali Lehman Brothers, kemudian pemerintah memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga keuangan besar, seperti Wall Street, untuk mencegah keruntuhan ekonomi yang lebih luas.
Idiom ini sendiri bukan hal baru. Sebenarnya, jauh pada tahun 1984, Stewart McKinney, politisi dari Partai Republik mencetuskan too big too fail pada tahun 1984, menyitir intervensi yang dilakukan oleh Federal Deposit Insurance Corp. (FDIC) terhadap bank Continental Illinois.
Dia mencetuskan idiom itu sebagai konsep menyelamatkan bank tersebut, yang dikhawatirkan menyeret sektor lainnya ke krisis lebih dalam. Namun, istilah ini baru kondang saat krisis Amerika terjadi pada 2007–2008. Inilah salah satu alasan kenapa ada kebijakan bailout dalam dunia perbankan.
Meminjam istilah ini, pertanyaan yang kini makin menggeliat adalah: apakah Indonesia, sebagai negara, terlalu besar untuk gagal?
Ada kekhawatiran bahwa Indonesia semakin menuju posisi sebagai negara gagal dalam membangun bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Pertanyaan ini buat banyak orang dinilai relevan. Apalagi, ini muncul di hari-hari belakang ini, ketika tampak adanya silang sengkarut di berbagai aspek hidup berbangsa dan bernegara.
Soal negara gagal, tak kurang Presiden Prabowo sendiri berkali-kali menyampaikannya. Di penghujung Januari 2025, saat memberikan pengarahan dalam Rapim TNI-Polri 2025, Prabowo mengungkapkan negara gagal dapat dilihat dari kinerja tentara dan polisinya. TNI-Polri yang gagal menjadi ciri negara yang gagal, demikian menurut presiden.
Lagi, di acara pengukuhan Hakim Mahkamah Agung (MA) Tahun 2025 12 Juni 2025, Prabowo menyatakan bahwa sebuah negara yang gagal adalah negara yang tidak bisa memenuhi tujuan nasional yang telah ditentukan, seperti melindungi rakyat, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, hingga menjaga ketertiban dunia.
Agustus 2025, saat memberikan pembekalan kepada guru dan kepala Sekolah Rakyat, lagi-lagi hal ini digaungkan oleh presiden: “Kita tidak boleh jadi negara gagal, kita harus menjadi negara yang berhasil, negara yang sungguh-sungguh merdeka. Artinya merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kelaparan, merdeka dari penderitaan.”
Bila pernyataan-pernyataan Presiden Prabowo disarikan, maka negara gagal adalah negara yang tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi dasar pemerintahannya, mulai dari keamanan, pencapaian tujuan nasional, dan tentu saja pemenuhan kesejahteraan rakyat.
Tentu, pemaknaan ini dapat dilanjutkan sampai menunjukkan indikator-indikatornya, dan semua ini ada dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat, tentu saja juga oleh pemerintah sendiri. Artinya, pemerintah sendiri sebetulnya dapat mengukur seberapa potensi Indonesia untuk menjadi negara gagal, dan sekaligus sangat paham soal apa yang harus dilakukan jika tidak hendak melihat negeri ini menjadi negara gagal.
Lalu, pertanyaan sekali lagi adalah, apa perasaan too big to fail tidak perlu ada?
Bila melihat data Fragile State Index (FSI) yang dirilis oleh Fund For Peace (FFP), skor Indonesia adalah 63,7, berada pada kelompok “warning”, pada peringkat ke-102 dari 179 negara. Tren dari indeks tersebut secara keseluruhan terus menurun, yang berarti cenderung makin stabil karena makin mendekati nol semakin baik. Indeks tersebut berada dalam rentang 0-120.
Dengan kata lain, Indonesia menunjukkan penurunan tingkat kerentanan. Ini merupakan hal yang pantas disyukuri. Namun demikian, komponen-komponen FSI perlu mendapatkan perhatian.
FSI dibentuk dari 12 indikator yang terbagi dengan empat kategori utama: kohesi, ekonomi, politik, dan sosial. Dari komponen ini, Indonesia memiliki resiko pada tekanan demografis, fragmentasi elit maupun penegakan hukum serta hak asasi manusia (HAM).
Jelas bahwa populasi Indonesia tidaklah kecil, kini terbesar ke-4 di dunia. Lebih-lebih lagi, distribusinya tidak merata di mana Jawa mengalami overpopulasi. Maka itu, jelas ada tekanan urbanisasi berikut beban infrastuktur sosial serta menguatkan kerentanan ekologi. Dengan jumlah penduduk yang besar, bonus demografi hanya akan bermakna kalau ada lapangan kerja yang berkualitas.
Agustus 2025, saat memberikan pembekalan kepada guru dan kepala Sekolah Rakyat, lagi-lagi hal ini digaungkan oleh presiden: “Kita tidak boleh jadi negara gagal, kita harus menjadi negara yang berhasil, negara yang sungguh-sungguh merdeka. Artinya merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kelaparan, merdeka dari penderitaan.”
Bila pernyataan-pernyataan Presiden Prabowo disarikan, maka negara gagal adalah negara yang tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi dasar pemerintahannya, mulai dari keamanan, pencapaian tujuan nasional, dan tentu saja pemenuhan kesejahteraan rakyat.
Tentu, pemaknaan ini dapat dilanjutkan sampai menunjukkan indikator-indikatornya, dan semua ini ada dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat, tentu saja juga oleh pemerintah sendiri. Artinya, pemerintah sendiri sebetulnya dapat mengukur seberapa potensi Indonesia untuk menjadi negara gagal, dan sekaligus sangat paham soal apa yang harus dilakukan jika tidak hendak melihat negeri ini menjadi negara gagal.
Lalu, pertanyaan sekali lagi adalah, apa perasaan too big to fail tidak perlu ada?
Bila melihat data Fragile State Index (FSI) yang dirilis oleh Fund For Peace (FFP), skor Indonesia adalah 63,7, berada pada kelompok “warning”, pada peringkat ke-102 dari 179 negara. Tren dari indeks tersebut secara keseluruhan terus menurun, yang berarti cenderung makin stabil karena makin mendekati nol semakin baik. Indeks tersebut berada dalam rentang 0-120.
Dengan kata lain, Indonesia menunjukkan penurunan tingkat kerentanan. Ini merupakan hal yang pantas disyukuri. Namun demikian, komponen-komponen FSI perlu mendapatkan perhatian.
FSI dibentuk dari 12 indikator yang terbagi dengan empat kategori utama: kohesi, ekonomi, politik, dan sosial. Dari komponen ini, Indonesia memiliki resiko pada tekanan demografis, fragmentasi elit maupun penegakan hukum serta hak asasi manusia (HAM).
Jelas bahwa populasi Indonesia tidaklah kecil, kini terbesar ke-4 di dunia. Lebih-lebih lagi, distribusinya tidak merata di mana Jawa mengalami overpopulasi. Maka itu, jelas ada tekanan urbanisasi berikut beban infrastuktur sosial serta menguatkan kerentanan ekologi. Dengan jumlah penduduk yang besar, bonus demografi hanya akan bermakna kalau ada lapangan kerja yang berkualitas.
Butuh Upaya Serius 
Kembali ke pertanyaan awal, jawabannya adalah teramat disayangkan kalau Indonesia sampai menjadi negara gagal. Tanpa harus mengaitkannya dengan implikasinya pada aras regional, kegagalan itu jelas akan melibas harapan ratusan juta manusia Indonesia.
Artinya, jangan sampai itu terjadi. Karenanya, dibutuhkan upayanya serius untuk menyingkirkan segala hal yang dapat meningkatkan resiko menjadi negara gagal. Indonesia memiliki kekayaan alam, mempunyai manusia muda, dan banyak hal baik lainnya. Namun bila negara, pemerintah, dan warga negara abai terhadap semua ini, maka too big to fail itu bukanlah jaminan untuk merasa aman dan bebas dari resiko menjadi negara gagal.
Kalau sampai terjadi, jangan-jangan tidak ada yang dengan rela mem-bailout. Sebaliknya, justru bailout itu tidak lain adalah runtuhnya harapan warga negara artinya membuang pengorbanan warga negara selama ini.
Penulis: Aloysius Gunadi Brata
Tulisan ini terbit di https://validnews.id/opini/relevankah-idiom-too-big-to-fail-untuk-indonesia
Editor: Angelina Komala



