
Ilustrasi MBG: Untuk Anak-Anak, Jangan Lagi Coba-Coba. Generated with ChatGPT
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari janji kampanye yang menjanjikan keadilan gizi bagi segenap anak bangsa. Tidak disangkal bahwa ide ini pada dasarnya baik dan mulia demi mengurangi stunting, memperbaiki kualitas pendidikan melalui gizi yang lebih baik dan memastikan tidak ada anak Indonesia yang belajar dalam kondisi lapar.
Anggaran MBG tahun 2025 sebesar Rp 71 triliun yang sejauh ini terealisasi sebanyak Rp 13 triliun. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyebutkan bahwa mulai Januari 2026, program MBG diproyeksikan menyedot anggaran senilai Rp 1,2 triliun/hari untuk memberi makan bergizi kepada 82,9 juta anak di seluruh penjuru negeri. Tentu ini target yang luar biasa, sekaligus mengandung risiko yang juga besar. Maka jadilah MBG sebagai salah satu intervensi sosial terbesar dalam sejarah Indonesia.
MBG bahkan termasuk skala raksasa untuk ukuran dunia. School Meals Coalition yang saat ini beranggotakan 109 negara—termasuk Indonesia—berusaha memastikan bahwa di 2030 setiap anak memiliki kesempatan untuk menerima makanan sehat dan bergizi di sekolah. Ini menandakan bahwa ide MBG memang ada benarnya dan justru Indonesia termasuk dalam kelompok yang terlambat untuk memiliki program seperti ini.
Kini, dengan 7.475 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) alias dapur umum yang aktif saat ini program MBG melayani lebih dari 25 juta orang, yang tentu saja bukanlah jumlah yang sedikit. Sayangnya di balik capaian yang sudah lebih dari 27% total target penerima manfaat, catatan keracunan massal mencoreng program ini. Dalam sembilan bulan pelaksanaan ribuan anak mengalami keracunan. Celakanya, data dari beberapa sumber memberikan angka yang berbeda.
Kepala Staf Presiden (KSP), Muhammad Qodari (22/9/2025) menyebutkan, data dari BGN, data per 17 September terdapat 46 kasus keracunan dengan jumlah penderita 5.080, lalu dari Kemenkes terjadi 60 kasus dengan 5.207 penderita, data 16 September; sedangkan BPOM mencatat 55 kasus dengan 5.320 penderita, data per 10 September 2025. Perbedaan ini harus dipahami bukan semata soal perbedaan angka, tetapi menandakan bahwa ini bukanlah insiden kecil. Bagi ribuan keluarga, pengalaman keracunan bisa menjadi trauma nyata yang menggusur kepercayaan terhadap sebuah program raksasa yang seharusnya membawa harapan.

Sejumlah siswa menyantap menu makanan saat pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di TK Kartika, Indramayu, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Foto: Dedhez Anggara/ANTARA FOTO
Maka dari itu, perlu digarisbawahi bahwa MBG tidak boleh dijalankan sekedar dengan pola coba-coba. Karena menyangkut makanan untuk anak-anak, jelaslah kehati-hatian menjadi sangat krusial dan harus dijaga berlapis-lapis. Tidak salah untuk terus belajar dari pengalaman negara lain. Program Mid-Day Meal Scheme di India misalnya, telah berjalan sejak 1995 dan awalnya juga menghadapi tantangan keracunan makanan. Pemerintah India kemudian memperkuat pengawasan melalui food safety inspectors, kewajiban dapur higienis di sekolah, dan keterlibatan aktif komite orang tua-guru dalam mengawasi distribusinya.
Artinya, bila program MBG hendak diteruskan, sudah seharusnya tragedi keracunan harus dijadikan momentum perbaikan secara menyeluruh. Niat baik sebesar ini adalah investasi masa depan bangsa, tetapi ini hanya akan benar-benar berguna dan bermakna jika dijalankan dengan standar yang tinggi dan benar.
Penting untuk digarisbawahi bahwa pada dasarnya memberi makanan sehat dan bergizi untuk anak-anak adalah kewajiban negara. Namun melindungi mereka dari risiko yang seharusnya dapat dihindari seperti keracunan makanan adalah ujian sesungguhnya atas keseriusan pemerintah. Artinya, jangan biarkan MBG tercatat dalam sejarah sekadar “program coba-coba”. Sekarang adalah saat untuk membuatnya menjadi sebaliknya, yakni dicatat sebagai tonggak penting menuju Indonesia yang lebih sehat dan cerdas.
Bagaimanapun, untuk anak-anak, jangan coba-coba.
Penulis: Aloysius Gunadi Brata
Tulisan ini terbit di https://kumparan.com/aloysius-gunadi-brata/mbg-untuk-anak-anak-jangan-lagi-coba-coba-25uTmijboBN/full
Editor: Angelina Komala



