
Ilustrasi defisit fiskal. Generated with ChatGPT
Sampai Agustus 2025, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dilaporkan sudah menembus Rp 321,6 triliun atau 1,3% Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam Rencana APBN (RAPBN) 2026, pemerintah menargetkan defisit sebesar Rp 638,8 trilun atau 2,68%. Angka ini masih di bawah ambang aman 3%, dan pemerintah merasionalisasikannya sebagai langkah yang diperlukan untuk menumbuhkan ekonomi.
Persoalannya, pemerintah juga memiliki janji besar: pada 2027 atau 2028 APBN akan bebas dari defisit fiskal. Target ini terdengar ambisius, bahkan nyaris mustahil. Apalagi bila dikaitkan dengan target pertumbuhan ekonomi yang ingin didorong dari 5% menjadi 8%. Memacu pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam waktu singkat terasa hampir mustahil. Dan tanpa pertumbuhan setinggi itu, upaya menihilkan defisit fiskal hanyalah mimpi di siang bolong. Kecuali bila kebijakan anggaran yang dipakai adalah yang benar-benar fleksibel, yakni pengeluaran hanya dilakukan sebatas penerimaan, tanpa ada defisit atau tanpa utang.
Selain itu, dari aspek istilah, mungkin yang lebih pas sebetulnya bukanlah nol defisit total, tetapi zero primary deficit, yakni defisit setelah dikurangi dengan bunga utang. Artinya kondisi penerimaan negara persis sama dengan pengeluaran negara tidak termasuk pembayaran bunga utang. Brazil di bawah Presiden Luiz da Silva misalnya, di akhir 2024 zero primacy deficit-nya setara dengan 0,36% dari PDB.
Realitas
Bank Dunia mencatat lima kali pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 8% persen atau lebih selama Soeharto menjabat. Laju ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia tercipta di era Soeharto, yakni mencapai 10,9% pada 1968 lalu.
Namun, kini tantangannya sudah makin berat. Ketimpangan masih tinggi dengan rasio Gini Semester 1 (Maret) 2025 sekitar 0,375, di perkotaan bahkan mencapai 0,395, sedangkan di perdesaan lebih baik (0,299). Artinya, jurang antara kaya-miskin masih lebar. Padahal ini adalah rasio Gini berdasarkan data pengeluaran. Artinya, jika saja ada yang berdasarkan data pendapatan, pastilah rasio Gini lebih tinggi lagi. Kemudian, kelas menengah—motor konsumsi domestik—justru menyusut dan daya belinya masih terus tertekan. Belanja sehari-hari makin terasa mahal. Jika penopang konsumsi saja rapuh, sulit berharap ekonomi melonjak ke level yang diimpikan.
Pengurangan defisit fiskal hanya mungkin bila pemerintah menerapkan disiplin fiskal yang ketat, dalam artian belanja harus efisien, tepat sasaran, dan bebas kebocoran. Namun realitasnya berkata lain. Korupsi anggaran, proyek inefisien, hingga birokrasi yang gemuk terus menjadi penyakit kronis. Reshuffle yang terjadi belum lama ini misalnya, tidak membuat kabinet lebih ramping, tetapi justru makin gemuk. Sulit untuk mengharapkan birokrasi akan efisien bila strukturnya gemuk berlapis-lapis.
Di sisi lain, penerimaan negara juga belum digarap maksimal. Potensi sebenarnya ada, seperti pada pajak kelompok super kaya (wealth tax). Pengenaan pajak kekayaan atau diskriminasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) misalnya bisa memperkuat basis penerimaan dan sistem pajak menjadi lebih adil. Namun cara seperti wealth tax ini sering juga dilemahkan oleh kecanggihan para super kaya dalam mengalihkan asetnya ke surga pajak atau dengan menggunakan konsultan keuangan yang canggih, dan kuatnya posisi tawar mereka melalui jejaring politik dan ekonominya. Karena berpotensi memicu arus modal keluar dan ongkos untuk mengawasinya tinggi, maka pajak kekayaan ini pun bisa tidak populer untuk diterapkan, sekaligus mengindikasikan bahwa kebijakan pajak memang sering bias kepada kelompok atas.
Realistis
Daripada mengumbar target berlebihan yang menimbulkan ekspektasi negatif, sebaiknya pemerintah fokus pada langkah nyata: memberantas kebocoran, memangkas birokrasi, dan mendorong reformasi kelembagaan. APBN yang sehat bukan ditentukan oleh angka defisit nol persen semata, tetapi dari kualitas belanja dan keberanian menutup celah-celah terjadinya korupsi.
Menggantungkan harapan pada pertumbuhan ekonomi 8% ibarat mengejar fatamorgana. Bila saja benar bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah saat ini tinggi, seperti hasil lembaga riset dari Australia Roy Morgan (April 2025-Maret 2025) dan Lembaga survei Indonesian Social Survey (ISS) (periode 11–20 Juli 2025), maka kepercayaan ini harusnya direspon serius oleh pemerintah. Respon tersebut yakni alih-alih sibuk dengan ilusi, pemerintah harusnya menunjukkan keseriusan dalam memperbaiki tata kelola.
Tanpa fondasi institusional yang kuat, target seindah apapun akan mudah terjungkal menjadi janji kosong belaka.
Penulis: Aloysius Gunadi Brata
Tulisan ini terbit di https://kumparan.com/aloysius-gunadi-brata/defisit-nol-persen-mimpi-di-siang-bolong-25v7Ho8dxZk/full
Editor: Angelina Komala



