![]()
Dunia mengalami krisis bertumpuk—mulai dari krisis iklim, ketegangan geopolitik, ketimpangan sosial-ekonomi, sampai disrupsi teknologi kecerdasan buatan—yang seringkali tampak seperti kekacauan. Namun sebagaimana pesan dari pemberian Nobel Ekonomi kepada Joel Mokyr, Philippe Aghion, dan Peter Howitt (disingkat: MAH), di tengah kekacauan ada peluang bagi destruksi kreatif. Namun, syaratnya adalah dunia harus merangkul dan memelihara mekanisme destruksi kreatif untuk mengatasi dan memastikan kemajuan jangka panjang.
Dalam khasanah kebijaksanaan Jawa, kesadaran serupa dinyatakan dalam pepatah “Jaman Iku Owah Gingsir”, papatah Jawa menegaskan bahwa segala sesuatu selalu berubah dan bergeser; tidak ada yang tetap. Pesannya adalah hidup harus dengan kesadaran penuh bahwa perubahan adalah inti dari keberadaan dan karena itu menuntut fleksibilitas, kesabaran, dan kebijaksanaan.
Maka, destruksi kreatif—dari kacamata kosmologis dan evolusioner—adalah “owah gingsir” dalam harmoni atau keseimbangan. Sedangkan dalam versi klasik Joseph Schumpeter (1883-1950), destruksi kreatif adalah kuasa yang memacu pertumbuhan; walaupun Schumpeter sendiri pesimistis akan masa depan kapitalisme, yang diyakininya akan mati tercekik oleh birokrasi korporasi besar dan kelembagaan yang menolak perubahan.
Menyikapi Siklus Destruksi
Bagi MAH, hadiah Nobel adalah penghargaan atas kontribusi mereka menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh inovasi. Mokyr berhasil mengidentifikasi prasyarat pertumbuhan yang berkelanjutan melalui kemajuan teknologi; sedangkan Aghion dan Howitt membangun teori tentang pertumbuhan berkelanjutan melalui destruksi kreatif. Mokyr menekankan pentingnya masyarakat untuk terbuka pada gagasan-gagasan baru dan mengizinkan terjadinya perubahan. Adapun Aghion dan Howitt mengingatkan bahwa destruksi kreatif adalah kunci kemajuan, tetapi ia menghasilkan konflik—khususnya berupa perlawanan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh perubahan—sehingga konflik harus dikelola secara konstruktif agar inovasi bisa berkembang, tidak dihalang-halangi dan diberangus oleh kepentingan status quo.
Menjadi relevan karena siklus destruksi kreatif saat ini diyakini sedemikian kuat untuk membawa kehancuran tetapi sekaligus menawarkan kemungkinan yang sangat potensial untuk terjadinya kemajuan luar biasa bagi dunia. Itulah sebabnya, ini harus betul-betul disikapi secara konstruktif.
Tentu, masih menjadi pertanyaan besar bagaimana persisnya cara untuk menyikapi siklus tersebut. Yang pasti, dibutuhkan kerangka besar dari pilihan sikap yang realistis untuk dilakukan saat ini, yang sekaligus juga mengandung esensi prospektif bagi masa depan. Termasuk dalam kerangka ini adalah krusialnya peran negara agar siklus destruksi kreatif tidak sekedar diakhiri oleh perubahan yang merusak tetapi juga diawali oleh perubahan yang merawat keberlangsungan.
Itulah pesan bagi pemerintah, pasar, dan masyarakat sipil, yang oleh Philippe Aghion, Céline Antonin, and Simon Bunel (2021)—disingkat AAB—dalam the Power of Creative Destruction, digambarkan sebagai “segitiga emas” yang sudut-sudutnya adalah negara, pasar, dan masyarakat sipil. Negara mewakili cabang eksekutif atau pemerintah, ”pasar” menunjuk pada pelaku-pelaku swasta (wirausahawan, konsumen, pekerja) dan organisasinya (pasar dan perusahaan), sedangkan masyarakat sipil juga mencakup media/pers.
Bila mendekat ke sudut “pasar”, ekonomi makin patuh pada kekuatan pasar dan laissez-faire. Mendekati sudut eksekutif, berarti pemerintah bertindak tanpa mempertimbangkan pasar dan masyarakat sipil, dengan kasus ekstrimnya adalah rezim otoriter dengan perencanaan terpusat. Dan, jika dekat ke sudut masyarakat sipil, maka kita mendapatkan masyarakat yang sepenuhnya mengatur diri sendiri (self-governing society), dengan rejim anarkis sebagai kasus ekstremnya.
Tentu, kombinasi ideal yang bisa menstimulasi inovasi dan destruksi kreatif terletak di tengah “segitiga emas”, yang menandakan adanya keseimbangan pasar—negara—masyarakat sipil, dengan masyarakat sipil memainkan peran layaknya penjaga dari ranah teori ke ranah praktis. Di sinilah letak esensi harmoni, yakni negara tidak hanya memfasilitasi pasar, tetapi juga membolehkan dan menguatkan masyarakat sipil sebagai penyaring dan penjaga gawang yang memastikan setiap destruksi membawa kemajuan yang adil dan berkelanjutan.
Ironi “Owah Gingsir” Kita
Maukah kita mengakui dan menjalani “owah gingsir” dalam kesimbangan untuk mengatasi krisis di masa kini demi masa depan? Dalam konteks Indonesia, dari ketiga sudut “segitiga emas” AAB, yang paling resisten terhadap “owah gingsir” tidak lain adalah pemerintah. Jangankan tunduk pada hukum “owah gingsir”, yang terjadi malah langkah-langkah regresif, walaupun yang ditampilkan adalah kesan selalu bergerak ke depan. Seolah setiap maju satu langkah, lalu mundur 2-3 langkah. Begitulah pola yang berulang.
Harmoni dalam “segitiga emas” ini sulit terwujud dalam praktik kebijakan di Indonesia. Ambil contoh, penarikan Transfer ke Daerah (TKD) oleh pusat; ini bukan “owah gingsir” melainkan bentuk regresi, karena sangat berpotensi membawa mundur desentralisasi, yang artinya adalah gejala resentralisasi. Pembentukan Koperasi Merah Putih (KMP) jelas mengingkari esensi koperasi itu sendiri karena harusnya, koperasi tumbuh dari bawah atas dasar kepentingan dan kebutuhan bersama, bukan sebagai proyek yang didesain dan dipaksakan dari atas. Tidak terkecuali, Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disebut sebagai applied technocracy—evidence-based policy, tetapi faktanya terus mengalami kekacauan yang mengkhawatirkan dan berpotensi membahayakan kesehatan dan kualitas gizi anak-anak.
Dilihat dari skema “segitiga emas” AAB, negara terlalu sering berpura-pura mendekat ke pasar pun ke masyarakat sipil, namun energi sejatinya lebih menuju ke sudut eksekutif. Maka, ketika masyarakat sipil mencoba turut mengawasi dapur MBG misalnya, negara segera mengedepankan cara-cara protektif.
Inilah ironi besar yang terjadi. Siklus destruksi kreatif dihadapkan pada kepentingan status quo dan modus-modus populis dengan tujuan mengamankan kekuasaan semata. Alhasil, yang muncul bukan “owah gingsir“ dalam harmoni yang memelihara keberlangsungan, melainkan destruksi di bawah ketertindasan dan pemberangusan. Inilah sebuah kegagalan fundamental untuk merangkul kuasa perubahan demi masa depan bangsa.
Penulis: Aloysius Gunadi Brata
Tulisan ini terbit di https://katadata.co.id/indepth/opini/68f6c3d6effa8/destruksi-kreatif-mencari-owah-gingsir-di-tengah-kekacauan
Editor: Angelina Komala



