Oleh: Yenny Patnasari
KRjogja.com – Di tengah optimisme pemulihan ekonomi pasca-pandemi, Indonesia justru menghadapi persoalan serius yang sering luput dari perhatian: menurunnya kualitas pekerjaan. Data BPS terbaru (Februari 2024) menunjukkan bahwa lebih dari 59% tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal — sebuah angka yang tinggi dan mengkhawatirkan. Artinya, sebagian besar pekerja kita hidup tanpa kepastian penghasilan, tanpa jaminan sosial, dan dalam kondisi kerja yang jauh dari kata layak.
Fenomena ini bukan hanya persoalan statistik. Ini adalah cermin dari ketimpangan struktural dalam dunia kerja kita. Alih-alih bergerak dari pertanian ke industri manufaktur seperti yang lazim terjadi dalam proses industrialisasi negara-negara maju, Indonesia justru mengalami de-industrialisasi dini. Banyak tenaga kerja meloncat langsung dari sektor pertanian ke sektor jasa, seringkali tanpa bekal keterampilan atau perlindungan hukum yang memadai.
Akibatnya, kita melihat gejala jobless growth — pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas. Ketergantungan pada pekerjaan informal memperlambat produktivitas nasional, memperlemah daya saing global, dan memperbesar ketimpangan sosial. Para pekerja informal, terutama di pedesaan, kesulitan mengakses pelatihan, teknologi, maupun pendanaan. Ini adalah hambatan besar bagi inovasi dan mobilitas sosial.
Dalam aspek fiskal, sulitnya menjangkau pekerja informal dalam sistem perpajakan mengurangi kemampuan negara menyediakan layanan publik. Dalam aspek sosial, ketimpangan antara pekerja formal dan informal memperparah risiko kemiskinan dan ketidakamanan ekonomi. Bahkan dalam aspek politik, situasi ini menyimpan potensi ketegangan. Banyak lulusan muda dan terdidik kini menghadapi realitas pasar kerja yang tak seindah harapan kondisi yang bisa memicu frustrasi sosial dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi.
Salah satu implikasi paling kritis dari pergeseran kualitas pekerjaan adalah potensi Indonesia untuk terjebak dalam jebakan pendapatan menengah (middle-income trap). Produktivitas yang rendah di sektor-sektor yang menyerap sebagian besar tenaga kerja secara langsung berarti nilai tambah per pekerja tidak meningkat secara signifikan. Tanpa perbaikan produktivitas yang substansial dan berkelanjutan di seluruh spektrum ekonomi, ambisi Indonesia untuk mencapai status negara maju sebelum 2045 akan semakin sulit direalisasikan, sebagaimana juga dikhawatirkan oleh Lembaga seperti Bank Dunia (Siampani, 2024).
Lantas, apa yang bisa dilakukan?
Solusi utamanya adalah transformasi struktural yang menyentuh berbagai sisi. Dari sisi permintaan tenaga kerja, Indonesia perlu mendorong reindustrialisasi — menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan manufaktur dan jasa produktif. Investasi yang masuk sebaiknya tidak hanya mengejar modal, tapi juga teknologi, inovasi, dan penciptaan lapangan kerja berkualitas. Sektor digital, ekonomi kreatif, dan pariwisata berkelanjutan pun perlu digarap lebih serius sebagai sumber pertumbuhan baru yang menjanjikan.
Dari sisi penawaran tenaga kerja, kita butuh revolusi pendidikan dan vokasi. Sistem pendidikan harus selaras dengan kebutuhan industri, dengan fokus pada keterampilan abad ke-21 seperti literasi digital, kreativitas, dan kemampuan interpersonal. Dunia usaha dan lembaga pendidikan harus saling terhubung melalui magang dan pelatihan terapan. UMKM pun perlu difasilitasi agar naik kelas dan terintegrasi dalam ekonomi formal. Selain itu, pendidikan karakter dan etos kerja juga menjadi elemen penting untuk mendorong kesiapan mental generasi muda menghadapi dunia kerja yang terus berubah.
Akhirnya, reformasi kebijakan ketenagakerjaan juga tak bisa ditunda. Kita membutuhkan kebijakan yang fleksibel namun tetap melindungi hak pekerja, termasuk mereka yang bekerja dalam ekosistem digital dan gig economy. Sistem perlindungan sosial harus menjangkau semua, bukan hanya pekerja formal, agar ketahanan sosial semakin merata.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Jika gagal menciptakan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan, bonus demografi yang kita banggakan bisa berubah menjadi beban. Namun jika kita berani melakukan transformasi menyeluruh sekarang, kita bisa membuka jalan menuju ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan berdaya saing global.(Yenny Patnasari, SE., M.Si., Wakil Dekan 2 FBE Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Opini, dimuat di: https://www.krjogja.com/opini/1246172337/alarm-masa-depan