
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo
Kelangkaan minyak di stasiun pengisian bahan bakar umum (spbu) swasta hari-hari ini adalah alarm keras bahwa pasar energi Indonesia sedang menghadapi distorsi struktural. Jika kita lihat lebih serius, kelangkaan minyak tak hanya bersifat teknis distribusi, tapi lebih dari itu bahwa kondisi ini cerminan ketidakseimbangan pasar akibat interaksi antara perilaku konsumen, keterbatasan pasokan, serta kebijakan negara dalam mengatur mekanisme impor dan distribusi.
Dalam perspektif ekonomi yang sederhana, kita bisa menganalisis bahwa pasar energi idealnya beroperasi melalui mekanisme supply and demand equilibrium. Fenomena saat ini adalah kecenderungan bentuk market disequilibrium.
Peralihan pilihan konsumen dari Pertamina ke SPBU swasta mencerminkan efek substitusi dalam teori konsumen. Perpindahan ini tidak semata-mata karena faktor harga, melainkan isu kepercayaan. Konsumen menilai kualitas BBM Pertamina tidak konsisten, antrean panjang, serta layanan di SPBU yang kurang efisien. Sebaliknya, SPBU swasta lebih unggul dalam kualitas produk, standar layanan, dan kenyamanan fasilitas.
Dalam literatur consumer behavior, kepercayaan merupakan faktor kunci yang menentukan loyalitas konsumen. Ketika kepercayaan melemah, konsumen akan mencari pengganti yang dianggap lebih dapat diandalkan. Inilah yang sebenarnya terjadi antara Pertamina dan swasta. Akibatnya, kurva permintaan terhadap BBM swasta bergeser ke kanan (shifting to the right) yang membuat kuantitas permintaan meningkat signifikan.
Pada saat yang bersamaan, kurva permintaan BBM di Pertamina bergeser ke kiri (shifting to the left), kuantitas menurun. Masalahnya, SPBU swasta menghadapi keterbatasan pasokan karena bergantung pada kuota impor BBM tahunan yang ditetapkan pemerintah. Artinya, meskipun permintaan naik, pasokan tidak bisa menyesuaikan. Dalam terminologi ekonomi, kondisi ini menciptakan supply constraint yang berujung pada kelangkaan (shortage). Dengan kata lain, lonjakan permintaan akibat krisis kepercayaan konsumen kepada Pertamina bertemu dengan batas pasokan yang kaku di SPBU swasta.
Lebih jauh lagi, fenomena ini juga bisa mencerminkan adanya market failure. Regulasi yang terlalu kaku menyebabkan alokasi sumber daya tidak efisien. Keterbatasan peran swasta tentu menghambat terciptanya competitive market structure, sehingga pasar BBM nasional cenderung berbentuk oligopoli dengan dominasi tunggal oleh Pertamina.
Dari sudut pandang teori barriers to entry, kebijakan kuota berfungsi sebagai hambatan struktural yang menutup ruang ekspansi pemain swasta, sehingga kompetisi yang sehat sulit tercapai. Padahal, menurut teori allocative efficiency, sumber daya akan dialokasikan secara optimal ketika semua pelaku pasar diberi ruang proporsional. Ketika akses hanya terpusat pada satu aktor, risiko ketidakstabilan bisa meningkat, seperti yang kini kita saksikan pada kelangkaan BBM swasta. Dan pada akhirnya yang dirugikan adalah konsumen atau masyarakat.
Dampak dari kondisi ini multidimensional. Dari sisi konsumen, kelangkaan BBM di SPBU swasta mengurangi pilihan (consumer choice set) dan menurunkan utilitas masyarakat. Dari sisi produsen, perusahaan swasta kehilangan potensi economies of scale akibat ketidakmampuan menyesuaikan penawaran terhadap lonjakan permintaan. Dari sisi makroekonomi, dominasi satu entitas tanpa kompetisi yang memadai menimbulkan kerentanan pada ketahanan energi nasional, terutama dalam menghadapi volatilitas harga minyak global dan dinamika geopolitik internasional.
Kelangkaan BBM di SPBU swasta menjadi sinyal kuat struktur pasar energi Indonesia belum sehat. Kondisi ini tidak akan baik jika persoalan BBM swasta langka dibiarkan berlarut-larut. Saat ini, hal yang paling urgen adalah memulihkan kepercayaan konsumen.
Pertama, selain soal distribusi, pemerintah dan Pertamina harus berfokus pada pemulihan kepercayaan publik, terutama terkait dengan kualitas produk dan layanan. Transparansi harga, peningkatan kualitas BBM, serta perbaikan layanan SPBU menjadi kunci agar shifting konsumen kembali lagi dan tidak semata-mata bergantung pada faktor persepsi. Walau memang ini pasti akan butuh waktu.
Kedua, pemerintah bisa mengadopsi sistem subsidy-sharing atau cross-subsidy mechanism yang lebih transparan. Selama ini, kompensasi BBM lebih banyak terkonsentrasi pada Pertamina. Dengan melibatkan swasta dalam distribusi BBM secara terbatas dan terkontrol, kompetisi akan lebih sehat sekaligus menjaga keterjangkauan harga bagi masyarakat.
Ketiga, regulasi energi perlu mengakomodasi public-private partnership dalam penyediaan dan distribusi BBM. Dengan kolaborasi, Pertamina tetap menjadi pemain utama, tapi tidak memonopoli akses.
Diversifikasi penyedia BBM akan memperkuat ketahanan energi nasional. Dalam mekanisme pasar, kebijakan pemerintah yang kaku bisa menimbulkan distorsi pasar: konsumen kehilangan alternatif dan ruang gerak swasta terhambat.
Penulis: Pristanto Silalahi
Tulisan ini terbit di https://www.tempo.co/kolom/monopoli-pertamina-kelangkaan-bbm-2078438?article_id=1f16e833-a6e6-4b15-8039-c5bbe06361f9
Editor: Angelina Komala



