Guru Besar FEB UI Mohamad Ikhsan, dalam acara Katadata Policy Dialogue “Satu Tahun Prabowo-Gibran” pada 21 Oktober 2025, berpendapat tuntutan 17+8 tidak akan bisa dipenuhi. Menurutnya, karena upaya lepas dari jebakan pendapatan menengah (middle-income trap/MIT) menuntut perbaikan kualitas birokrasi dan institusi yang mahal. Solusinya, penerimaan pajak harus meningkat, sementara daya konsumsi masyarakat masih tertekan.
Benar bahwa peningkatan kualitas birokrasi dan institusi diperlukan, tetapi muncul pertanyaan: apakah demi pembiayaan perbaikan harus berujung pada kenaikan penerimaan pajak dari masyarakat, khususnya kelas menengah? Kelas menengah adalah tulang punggung konsumsi domestik yang menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi. Yang kini terjadi adalah penciutan kelas menengah. Justru, jika serius ingin lepas dari MIT maka kelas menengah harus diurus.
Menjadi Kunci
Kelas menengah dapat menjadi kunci suatu negara untuk terbebas dari MIT selain karena konsumsinya berkontribusi pada pertumbuhan, tetapi juga karena dapat berperan sebagai mesin transformasi menuju pertumbuhan ekonomi yang berbasis inovasi. Supaya kontributif, konsumsi kelas menengah haruslah yang bukan sekadar buah dari perilaku konsumtif, seperti memuaskan diri membeli barang-barang impor yang tidak memberikan banyak manfaat bagi industri domestik. Mereka juga harus bebas dari ketergantungan pekerjaan kepada pemerintah, atau yang sekadar memburu rente, tanpa fasih menghadapi kompetisi.
Yang dibutuhkan adalah kelas menengah yang kuat, dinamis, produktif dan mempunyai orientasi kepada perubahan. Perubahan pasti sulit diharapkan dari mereka yang terlanjur merasa nyaman “berkoneksi” dengan pemerintah, atau lekat dengan aktivitas ekonomi yang memburu abnormal profit dengan modus utama menyingkirkan persaingan yang sehat. Bentuk-bentuk konkritnya seperti terlibat dalam aktivitas ekonomi hitam atau kriminal, ataupun dalam pekerjaan-pekerjaan “kekinian”, seperti aktivitas buzzer politik, sebagai bagian dari proses pelanggengan status quo.
Perlu diingat pula, bagian dari kelas menengah yang berpotensi untuk memainkan peran penting adalah anak muda. Data Badan Pusat Statistik pun bahwa kelas menengah didominasi anak muda, tepatnya generasi milenial (24,60%), Z (24,12%) dan Alpha (12,77%). Jadi, lebih dari 61% kelas menengah adalah anak muda.
Di sini kerentanan muncul, yakni karena anak muda terus dihadapkan pada kenyataan sulitnya memperoleh pekerjaan. World Bank East Asia and the Pacific (EAP) Economic Update Oktober 2025 menyebutkan bahwa kendati employment rate di wilayah ini lebih baik dari wilayah lain, tetapi anak mudanya, termasuk di Indonesia, masih sulit untuk menemukan pekerjaan. Padahal, Indonesia tercatat bakal mengalami lonjakan jumlah penduduk usia muda. Saat ini saja, lebih dari 34% penduduk usia produktif kita adalah anak muda (berumur 15-29 tahun) yang didominasi generasi Z. Ekstrimnya, tanpa lapangan kerja yang cukup maka bonus demografi dapat berubah arah menjadi bencana demografi.
Dalam data Bank Dunia tersebut, tingkat pengangguran kelompok usia muda (usia 15-24 tahun) tahun 2023 menuju 15%. Data BPS sendiri menyebutkan pengangguran paling tinggi terjadi di kelompok muda, mencapai 16,16%. Untuk Cina, indikator ini melampaui 15%, sedangkan di Thailand kurang dari 5%. Jadi, kondisi Indonesia mendekati keparahan di China, dan sama-sama masuk upper-middle-income group, dengan catatan China diyakini mempunyai peluang lebih kuat untuk segera lepas dari MIT.
Di sinilah lantas penciptaan lapangan kerja baru, disertai peningkatan produktivitas pekerjaan menjadi urusan yang krusial. Tujuannya adalah agar kelas menengah yang sebagian besar berumur muda tersebut bisa memainkan perannya dalam proses Indonesia melepaskan diri dari MIT.
Buah dari Pembiaran
Terkait dengan pekerjaan untuk anak muda, bisa muncul pertanyaan: apakah program magang untuk fresh graduate, yang belum lama ini diluncurkan, dapat menjadi solusi jitu? Agaknya tidak. Kendatipun jumlah cakupannya bisa mencapai ratusan ribu, namun kebutuhan penciptaan lapangan kerja jauh berkali lipat. Oleh sebab itu, kebijakan ini dilihat hanya sebagai respons pragmatis dan temporer semata, tanpa menyelesaikan persoalan yang sebenarnya.
Juga, dalam urusan lepas dari MIT, yang dibutuhkan adalah pekerjaan-pekerjaan yang kuat kandungan inovasinya yang hasilnya sering membutuhkan waktu yang panjang. Magang enam bulan rasanya tidak cukup untuk melahirkan anak muda yang inovatif sebagai bagian dari kelas menengah yang diharapkan berkontribusi untuk membawa Indonesia keluar dari MIT.
Di sinilah secara reflektif harus diakui bahwa persoalan yang kini dihadapi oleh kelas menengah, termasuk yang berusia muda, adalah buah dari pembiaran. Data BPS menunjukkan penurunan kelas menengah telah terjadi sejak 2019 dan pada 2024 menyusut menjadi 47,85 juta, atau tinggal 17,3%, lebih rendah dari tahun 2014 (17,6%).
Ada kontribusi pandemi di sini, seperti temuan Pew Research Center (2021) bahwa penurunan kelas menengah terjadi secara global dan terparah terjadi di wilayah Asia Selatan, Asia Timur dan Pasifik. Namun, meminjam perspektif global (Steven Pressman, 2001), pandemi hanyalah salah satu dari faktor-faktor ekonomi makro seperti ledakan pengangguran akibat siklus bisnis. Masih ada penyebab lain: faktor-faktor struktural atau ekonomi mikro seperti lenyapnya pekerjaan di sektor manufaktur untuk kelas menengah misalnya akibat deindustrialisasi prematur, dan melemahnya serikat buruh; serta faktor demografi termasuk eksodus manusia muda bertalenta ke negeri lain; juga perubahan kebijakan publik seperti pajak yang memberatkan dan tiadanya jaring pengaman sosial yang tepat sasaran.
Soal deindustrialisasi prematur, yang kemudian muncul adalah pergeseran yang terlalu cepat dari manufaktur ke jasa, yang produktivitasnya cenderung rendah. Estimasi BPS, proporsi kelas menengah yang bekerja di sektor manufaktur turun dari 25,64% pada 2019 menjadi 22,98% pada 2024. Sementara itu, manfaat dari kebijakan pemerintah lebih terkonsentrasi ke penduduk di lapis ekstrim dalam distribusi pendapatan. Artinya, kelas menengah seperti dibiarkan untuk berjuang sendiri menghadapi kerentanan yang tinggi ketika muncul gejolak ekonomi.
Panggilan untuk Bertindak
Inilah alarm untuk segera memperhatikan kelas menengah, karena implikasinya bisa serius. Perkembangan masa depan negara dapat terhambat akibat menyusutnya kelas menengah yang nyatanya didominasi anak muda.
Sangat jelas, dibutuhkan kebijakan yang menciptakan lapangan kerja. Program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak bisa secara langsung mengatasi problem struktural yang membebani kelas menengah saat ini, seperti menciutnya pekerjaan formal berupah tinggi, potensi terbebani, ataupun pajak konsumsi yang dirasa memberatkan. Adapun magang fresh graduate tidaklah mengatasi masalah deindustrialisasi prematur akibat melemahnya investasi di sektor formal, serta persoalan masih kurangnya perlindungan bagi pekerja secara keseluruhan.
Kini krusial untuk meringankan tekanan berat yang ditanggung oleh kelas menengah, sekaligus memperkuat fondasi kesetaraan ekonomi dan sosial di masyarakat. Ini setidaknya menuntut penerapan format pajak yang lebih adil disertai inisiatif bantuan yang harus tepat sasaran.
Penulis: Aloysius Gunadi Brata
Tulisan ini terbit di https://katadata.co.id/indepth/opini/69015bfb514c5/kelas-menengah-kunci-lepas-dari-mit
Editor: Angelina Komala



