Di tengah upaya menaikkan rasio pajak, tantangan terbesar bukan sekadar ekonomi bawah tanah. Poin yang utama adalah bagaimana membangun kepatuhan pajak yang tumbuh dari kepercayaan, bukan keterpaksaan.

Ilustrasi kepatuhan pajak yang ditunjukkan dengan analisis keuangan terperinci berfokus pada implikasi pajak dan deduksi. Shutterstock/Natee Meepian.
Hukum Wagner adalah salah satu teori di ilmu ekonomi. Teori ini dimunculkan oleh ekonom politik Jerman Adolph Wagner (1835-1917), yang juga dikenal sebagai “hukum meluasnya aktivitas negara”.
Hukum Wagner menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah meningkat seiring peningkatan pendapatan nasional. Mengikuti hukum ini, makin maju suatu negara, maka komponen G dalam identitas pendapatan nasional semakin besar kontribusinya, atau size of government-nya semakin tinggi.
Dalam praktiknya, berlakunya hukum ini ditemukan juga di negara berkembang (Akitoby dkk, 2006). Yang pasti, pengeluaran pemerintah hanya akan meningkat, utamanya jika penerimaan pajak meningkat.
Untuk negara sedang berkembang, menurut Bank Dunia, acuan batas rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 15%. Ini bukan rasio ideal, namun dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Biasanya, rasio acuan ditujukan untuk keperluan beragam pengeluaran, misalnya untuk kesehatan dan pendidikan, mendorong stabilitas ekonomi, serta mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui pajak yang progresif. Banyak negara berkembang masih begitu sulit untuk mencapai rasio acuan ini.
Studi terbaru oleh ekonom Bank Dunia menemukan bahwa rasio pajak terhadap PDB sebesar 12,5% berkorelasi signifikan dalam kinerja ekonomi jangka panjang, khususnya pada pertumbuhan kumulatif PDB riil per kapita dalam 10 tahun ke depan (Choudhary, Ruch & Skrok, 2024). Menurut mereka, ambang batas bagi tercapainya pertumbuhan inklusif di masa depan berada pada kisaran 13% dari PDB. Mencapai rasio ini, yang lebih rendah dari acuan standar di atas, pun tidaklah mudah.
Menurut CEICData, rasio pajak Indonesia pada 2024, hanya mencapai 10,07%. Indonesia pernah mencapai rasio kisaran 20% pada dekade 1980-an. Namun, sejak itu, terus menurun yang menandakan adanya penurunan kapasitas fiskal Indonesia.
Sebagai perbandingan, dari data CEIC, pada 2024, rasio pajak Vietnam mencapai 11,41%. Bahkan, Kamboja mencapai lebih dari 13%. Oleh karena itu, bisa dimengerti bila ada upaya untuk menaikkan rasio pajak Indonesia.
Target pemerintah, rasio ini mencapai 15,01% pada 2029. Sementara itu, Presiden Prabowo memiliki target pajak 16-18% dari PDB. Tentu, tidak sedikit yang meragukan target ini dapat dicapai.
Salah satu alasan keraguan tersebut adalah masih besarnya aktivitas ekonomi yang tidak tercatat (shadow economy). Secara sederhana, semakin besar shadow economy, semakin kecil rasio pajak terhadap PDB.
Tidak heran bila sektor ini sering dilihat sebagai “harta karun pajak” yang belum tergali. Demi mengejar target setoran pajak pada 2026 sebesar Rp2.357,7 triliun tanpa harus menaikkan tarif pajak, pemerintah berniat membidik penerimaan dari aktivitas bawah tanah ini.
Presiden Prabowo Subianto, seperti disampaikan oleh Hashim Djojohadikusumo pada acara Indonesia Economic Summit, Februari 2025, juga telah memasang target untuk mendapatkan tambahan penerimaan sebesar US$90 miliar atau setara Rp1.471 triliun (asumsi kurs saat itu) per tahun dari aktivitas ekonomi bawah tanah. Angka ini hampir setara dengan separuh dari target total penerimaan pajak 2026.
Namun, rendahnya rasio pajak tidaklah semata-mata bisa didalihkan pada shadow economy.
Ekonomi bawah tanah ini lebih tepat dibaca sebagai gejala dari persoalan struktural yang lebih dalam. Pertumbuhan ekonomi selama ini cenderung tidak inklusif—manfaatnya tidak terbagi secara merata—sehingga melahirkan sektor informal yang meluas. Sektor informal memang tidak selalu identik dengan kriminalitas, tetapi ia menjadi penanda bahwa struktur ekonomi belum kokoh.
Mengapa Sulit Menaikkan Pajak?
Tahun 2014, Timothy Besley dan Torsten Persson menulis artikel bertajuk “Why Do Developing Countries Tax So Little?” di Journal of Economic Perspectives. Kesimpulan dari studi mereka adalah bahwa rendahnya tingkat pajak di negara berkembang bukanlah semata lantaran negara-negera ini miskin. Lebih jauh, ini terjadi karena kendala-kendala yang lebih serius.
Kendala-kendala tersebut mencakup struktur ekonomi; kelembagaan dan kapasitas administrasi; faktor-faktor politik; faktor-faktor sosial/normatif/kultural; serta interaksi-interaksi dinamis antar keempat jenis kendala tersebut. Oleh karena itu, meningkatkan rasio pajak membutuhkan reformasi yang multidimensi yang terus-menerus.
Logika siklusnya, jika kelembagaan menjadi makin baik, maka pajak makin baik. Lalu, negara menjadi lebih kuat dan akan makin memacu keinginan untuk menarik pajak dan investasi sehingga pembangunan makin maju pula. Bila sial, maka siklusnya dapat menjadi terbalik, mulai dari pembangunan yang buruk dan berujung pada kelembagaan yang rusak.
Apa yang diungkapkan Besley dan Persson kiranya masih relevan sampai saat ini. Meminjam penjelasan mereka, maka masih rendahnya rasio pajak Indonesia tidaklah bisa didalihkan semata-mata sebagai akibat dari masih kuatnya shadow economy. Apalagi, ekonomi bawah ini sebetulnya adalah symptom dari masalah yang lebih rumit.
Salah satu urusan yang terkait ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini tidak inklusif. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang manfaatnya tidak dibagikan secara adil untuk semua orang.
Dengan kata lain, shadow economy mencerminkan struktur ekonomi yang tidak inklusif. Itulah sebabnya, gejala yang kini dialami Indonesia adalah membesarnya sektor informal yang juga bagian dari shadow economy, khususnya yang tidak berciri kejahatan.
Dengan demikian, faktor yang menyebabkan rasio pajak rendah bukan hanya shadow economy, tetapi juga kondisi struktural dan kelembagaan.
Satu studi yang dilakukan di bawah International Labor Organization (ILO), secara umum memang tidak menemukan hubungan yang sangat kuat antara pertumbuhan ekonomi dan informalitas. Namun, untuk kelompok negara berpendapatan menengah (middle income countries), pengaruhnya ternyata besar (Chacaltana dkk. 2022). Indonesia sudah masuk dalam kelompok ini, tepatnya kelompok upper middle-income countries, di tahun 2023.
Karenanya, tidaklah salah jika menguatnya sektor informal belakangan ini juga dibaca sebagai indikasi bahwa ekonomi sedang tidak dalam kondisi baik, atau setidaknya pertumbuhan ekonomi itu sendiri mengandung masalah.
Studi ILO tersebut juga menggarisbawahi bahwa struktur ekonomi atau pola pertumbuhan adalah penjelas utama informalitas. Artinya, harus ada upaya serius menciptakan struktur produksi yang lebih luas, basisnya lebih beragam dan lebih kompleks bahkan dengan teknologi yang makin mumpuni. Di sinilah lantas faktor non-ekonomi terutama kelembagaan memainkan peran yang dominan.
Tanpa ada kelembagaan yang baik, sulit untuk meraih target-target pajak yang dipasang. Sebagai gambaran, dalam hal government effectiveness index yang disusun oleh Bank Dunia, pada 2023 Indonesia menempati peringkat 53 dari 193 negara, dengan indeks sebesar 0.58 dari maksimal 2,5 (paling efektif). Indeks tersebut mengukur seberapa baik pemerintah suatu negara dalam menjalankan tugasnya dalam hal layanan publik, birokrasi, kebijakan, maupun komitmen pemerintah.
Antara Keadilan dan Kepatuhan
Kenaikan tarif pajak jamak dipakai pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak. Namun, strategi ini tidaklah selalu memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Bahkan, kebijakan pengampunan pajak yang sudah dilakukan berkali-kali pun tidak berefek besar terhadap penerimaan pajak Indonesia. Maka, wajar jika pengampunan pajak tidak lagi dilihat sebagai strategi yang tepat karena justru dapat memunculkan sinyal keliru untuk tidak patuh membayar pajak.
Penggelapan-penggelapan pajak itu memang harus diatasi, tetapi bukan melalui pengampunan pajak.
Sejauh ini, target penerimaan pajak tidak berubah. Bila di saat Menkeu Sri Mulyani targetnya adalah Rp 2357,7 triliun, begitu pula di postur APBN 2026 versi Menkeu baru Purbaya Yudhi Sadewa.
Sudah ditegaskan pula oleh Purbaya bahwa tidak akan memberlakukan pajak baru. Tekanannya adalah besarnya penerimaan pajak, bukan rasio pajak terhadap PDB. Logikanya, jika pertumbuhan ekonomi lebih baik, maka penerimaan pajak juga sangat berpeluang untuk ikut membaik.
Formula sederhananya adalah setiap 0,5% pertumbuhan ekonomi, menghasilkan pajak Rp 100 triliun. Adapun komponen terbesar dari target pajak 2026 adalah dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp1.209,36 triliun, baru kemudian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), sementara target Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp26,13 triliun, lebih rendah dari sebelumnya (Rp30,08 triliun).
Sehubungan dengan upaya mencapai target pajak, perlu pula dilihat kembali apa yang dapat mendorong ketidakpatuhan pajak meningkat. Sudah pasti, tarif pajak yang terlalu memberatkan akan menciptakan kemungkinan wajib pajak untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak. Inilah yang dikenal sebagai Kurva Laffer yang dimunculkan oleh Arthur Laffer pada 1970-an.
Jelasnya, jika tarif pajak 0% maka penerimaan pajak juga nol karena tidak ada pungutan, tetapi jika tarif pajak 100% maka penerimaan pajak juga nol karena orang tidak mau bekerja bila semua hasil kerjanya hanya untuk negara. Dengan demikian, titik optimal pajak berada antara 0% dan 100%. Pemerintah tidak dapat menerapkan tarif pajak terlalu tinggi karena hanya akan mendorong menguatnya penghindaran pajak.
Studi Best dkk (2025) yang ringkasannya baru-baru ini juga dimuat di situs VoxDev menarik untuk diungkap. Berdasarkan studi kasus di Manaus, kota berpenduduk dua juta orang di negara bagian Amazonas, Brasil, Best dkk menemukan bahwa wajib pajak tidak hanya merespon seberapa besar pajak yang harus mereka bayar, tetapi juga apakah sistemnya terasa adil bagi mereka.
Dalam hal kota Manaus, pajak properti dipungut berdasarkan zona atau sektor tanah, bukan nilai pasar tanah. Implikasinya, dua rumah yang hampir sama tetapi berlokasi di zona pajak yang berbeda dapat terkena tagihan pajak yang berbeda signifikan. Estimasi Best dkk, sekitar setengah dari laju penurunan kepatuhan membayar pajak disebabkan oleh rasa ketidakadilan, bukan karena besarnya beban pajak. Ini adalah bentuk dari ketimpangan horizontal (horizontal inequity) yakni orang yang sejatinya cukup sama (dengan tetangganya) justru diperlakukan berbeda sehingga merasakan ketidakadilan.
Kendati studi Best dkk adalah soal pajak properti, namun implikasi kebijakannya penting untuk dilihat. Yakni, pemerintah, ketika merancang sistem pajak, perlu memperhatikan persepsi keadilan (perceived fairness), bukan hanya struktur tarif dan besarnya pajak. Kemudian, tingkat progresivitas—seberapa besar perbedaan pajak antara yang lebih mampu dan kurang mampu—harus disesuaikan agar tidak menghasilkan ketidakadilan saat sistem pajak diterapkan. Dalam hal properti, Best dkk menyatakan bahwa teknologi dan data yang lebih baik (contohnya machine learning, citra satelit/drone) dapat memperbaiki taksiran pajak agar lebih akurat dan lebih adil, sehingga memperkuat kepatuhan dan penerimaan.
Pelajaran dan Terapi
Prinsip keadilan horizontal masih relevan dalam konteks negara berkembang karena dapat menjadi aturan bersama yang disepakati dalam masyarakat sebagai dasar keadilan dalam pemajakan, kendati tidak semua orang sepakat tentang apa yang adil secara absolut (Lindsay, 2016). Ketimpangan horizontal sendiri adalah isu yang sensitif. Misalnya, ketika publik mendengar bahwa PPh—untuk penghasilan tetap dan teratur setiap bulan, sebaliknya para pejabat negara ditanggung oleh pemerintah atas beban APBN/APBD. Tentu banyak wajib pajak langsung menilainya sebagai bukti ketidakadilan.
Di sinilah penting bagi pemerintah untuk memperhatikan dimensi ketimpangan ini dalam segala upaya untuk memungut pajak. Dalam situasi ekonomi yang tidak benar-benar sehat seperti saat ini, kenaikan tarif pajak tentu bukan pilihan yang tepat.
Keputusan tidak menaikkan tarif pajak adalah langkah yang baik, apalagi kalau ada penurunan tarif pajak. Namun itu tidaklah cukup. Upaya yang lebih penting adalah mengurangi persepsi diperlakukan tidak adil.
Penggelapan pajak memang tidak lepas dari ketidakpatuhan. Tetapi tidak semua wajib pajak berniat untuk tidak patuh. Artinya, untuk wajib pajak yang memang nakal, ketidakpatuhan mereka harus dikejar dan dihukum. Tetapi untuk wajib pajak yang menjadi tidak patuh lebih karena perasaan diperlakukan tidak adil dalam sistem perpajakan kita, harus diterapi dengan mempertebal dimensi keadilan dalam perancangan dan penerapan sistem pajak.
Yang harus diingat, penambahan penerimaan pajak tidak akan mudah untuk diraih jika para wajib pajak masih mempunyai persepsi yang kuat bahwa pemajakan terjadi secara tidak adil.
Keputusan tarif pajak tidak naik dan tambahan perluasan PPh yang ditanggung pemerintah, dengan target 552 ribu peserta senilai Rp 600 miliar, tidaklah otomatis meningkatkan rasa keadilan di mata wajib pajak. Persoalan rasa diperlakukan tidak adil ini, sebetulnya, secara tidak langsung dapat diminimalkan bila pemerintah mampu memperbaiki kinerjanya dalam hal layanan publik, birokrasi, kebijakan, maupun komitmen pemerintah, yang kalau diukur, government effectiveness index-nya menjadi lebih baik.
Pada akhirnya, keberhasilan penerimaan pajak bukan hanya ditentukan oleh tinggi-rendahnya tarif ataupun besarnya beban, tetapi oleh seberapa kuat masyarakat percaya bahwa sistem ini adil. Tanpa rasa keadilan, kepatuhan akan rapuh. Tetapi, bila tata kelola kepemerintahan diperkuat, layanan publik ditingkatkan; dan keadilan pajak ditegakkan, maka kepatuhan akan tumbuh dari kesadaran, bukan sekedar keterpaksaan.
Penulis: Aloysius Gunadi Brata
Tulisan ini terbit di https://validnews.id/opini/menengok-kembali-keadilan-dan-kepatuhan-pajak
Editor: Angelina Komala




