
Ilustrasi persoalan utang pemerintah. Generated with ChatGPT.
Amankah jika rasio utang pemerintah mendekati 40% dari PDB? Pertanyaan ini menjadi krusial, mengingat per Juni 2025, total outstanding utang pemerintah Indonesia sudah mencapai 39,86% dari PDB. Nilainya Rp9.138,05 triliun. Rasio tertinggi di dekade terakhir—berdasarkan Trading Economics—terjadi di 2021 (41,1%), lalu menurun pelan menjadi 38,8% (2024).
Pemerintah berposisi bahwa rasio utang saat ini tidak perlu dikhawatirkan karena masih jauh di bawah batas aman 60% dalam Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Rasio batas aman tersebut—juga batas aman defisit fiskal 3%—dikenal ada dalam Traktak Maastricht tahun 1992. Bisa ditafsirkan bahwa jika rasio utang meninggi, defisit fiskal harus ditekan—sebagai kendali penambahan utang baru.
Memahami Mitos
Menurut Jan Priewe (2000), di Uni Eropa banyak publikasi menjustifikasi acuan 60% itu dengan alasan “fiscal sustainability“—sebagai sinonim dari “solvency” sektor publik. Jadi, ini tentang kemampuan sektor publik untuk memenuhi kewajiban keuangannya ketika harus jatuh tempo.

Ilustrasi catatan keuangan Foto: Shutterstock
Norma 60% ini tidak didukung justifikasi ekonomi yang jelas. Priewe menyebutkan ini hanyalah mitos yang justru berimplikasi negatif, melupakan persoalan utama terkait utang yang besar: bagaimana memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan suku bunga yang rendah, tanpa inflasi yang tidak terkendali.
Carolina Ortega Guttack, Carl Mühlbach & Tung Doan (2024) juga menyatakan batas aman rasio utang pemerintah itu lebih bersifat fiktif, tidak merefleksikan kondisi nyata ekonomi, masyarakat, dan lingkungan. Salah satu hal yang penting—supaya pembatasan rasio utang itu masuk akal—adalah kinerja atau potensi pertumbuhan ekonomi. Logikanya, jika pertumbuhan ekonomi tinggi, rasio utang otomatis turun. Inilah mekanisme “pertumbuhan keluar dari utang” (growing out debt). Hal lainnya adalah berpedoman pada keyakinan: ekonomi belum mencapai full employment, maka rasio utang tidak perlu dikhawatirkan.
Di atas semuanya, Guttack, Mühlbach & Doan menekankan bahwa batas paling hakiki dari utang pemerintah adalah batas-batas sosial, ekologis, dan kehidupan di bumi; dan ini bertalian dengan konsep degrowth. Penyebabnya, growing out debt menuntut kejelasan: pertumbuhan ekonomi macam apa yang didanai oleh utang tersebut? Di sinilah perspektif degrowth hadir melawan pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, eksploitatif, dan merusak.

Ilustrasi uang rupiah. Foto: Aditia Noviansyah
Kendati masih banyak ditolak, perlu diperjelas bahwa degrowth bukanlah tentang penurunan ekonomi yang permanen, melainkan tentang mencapai keseimbangan antara aktivitas ekonomi dan kesehatan planet. Degrowth bukan tentang mengurangi PDB, melainkan mengurangi aliran material dan energi.
Sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa degrowth merupakan kebutuhan pragmatis untuk mengatasi krisis iklim dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang. Lorenz Keyßer and Manfred Lenzen (2021) melaporkan, dari berbagai skenario yang dilakukan, strategi degrowth dapat memangkas emisi CO2—di tahun 2050—jauh lebih baik ketimbang strategi-strategi pertumbuhan ekonomi lainnya.
Sekarang, Demi Masa Depan
Jelaslah bahwa keyakinan bahwa rasio utang 40% tidak membahayakan dinilai tidak sesuai, kendatipun lebih rendah dari rasio pada negara-negara tetangga. Bahkan, hal ini bisa membahayakan ketika demi pertumbuhan ekonomi dan perusakan lingkungan makin menggila sampai kerusakannya permanen, sehingga tidak memadai untuk kehidupan dengan beragam aktivitas ekonominya.

Ilustrasi utang. Foto: Shutter Stock
Ketika harus berutang untuk membiayai pertumbuhan, hendaknya juga memperjelas upaya menyeimbangkan aktivitas ekonomi dan kesehatan bumi nasional secara keseluruhan, termasuk masyarakat penghuninya, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Bila penggunaan utang sarat kebocoran—apalagi disertai dengan kerakusan mengeksploitasi bumi—pemerintah dinilai bijak jika berusaha menahan diri untuk berutang. Tentunya, hal ini juga harus disertai keseriusan dalam menggunakannya agar menghasilkan pertumbuhan yang sehat; bukan hanya secara ekonomi, melainkan secara sosial dan lingkungan.
Keynes pernah berkata, “In the long run, we are all dead.” Ini bukan tentang ketidakpedulian terhadap masa depan, melainkan sebuah peringatan bahwa masa depan tidaklah berarti jika urgensi krisis jangka pendek saat ini—termasuk korupsi, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan—diabaikan tanpa kepedulian.
Penulis: Aloysius Gunadi Brata
Tulisan ini terbit di https://kumparan.com/aloysius-gunadi-brata/menyoal-rasio-utang-pemerintah-264rDaiBPff/full
Editor: Angelina Komala




