KRjogja.com – DALAM dunia ekonomi, setiap keputusan memiliki opportunity cost, atau biaya peluang dari pilihan terbaik yang harus dikorbankan ketika kita memilih sesuatu. Konsep ini sering kita dengar dalam konteks bisnis, investasi, atau kebijakan publik. Namun, opportunity cost juga bisa hadir dalam aspek kehidupan yang lebih personal dan emosional, salah satunya, menjadi fans klub sepak bola. Dan jika ada satu klub yang membuat konsep ini terasa nyata di dada para penggemarnya, itu adalah Manchester United.
Bagi banyak orang, menjadi fans Manchester United (MU) bukan keputusan rasional. Ingat kembali pada era kejayaan Sir Alex Ferguson dengan trofi yang seolah tak pernah berhenti datang dan pemain legendaris seperti Ryan Giggs, Paul Scholes, hingga Cristiano Ronaldo. Kala itu, menjadi fans MU seperti berinvestasi di perusahaan paling menguntungkan di dunia. Namun sejak Ferguson pensiun pada 2013, nilai “investasi emosional” itu terus menurun. Di sinilah opportunity cost mulai terasa: loyalitas yang dulunya memberi kebanggaan kini datang dengan beban frustrasi dan kehilangan waktu.
Menjadi fans MU berarti siap membayar biaya emosional yang tidak kecil. Setiap pertandingan kini menjadi semacam ujian kesabaran. Ketika tim tampil buruk, bukan hanya skor di papan yang mengecewakan, tetapi juga waktu dan energi mental yang terbuang untuk mengeluh, membela, atau sekadar memahami keputusan manajer. Sementara fans klub lain bisa menikmati sepak bola yang memanjakan mata seperti gaya menyerang Manchester City atau efisiensi Liverpool, fans MU sering harus berhadapan dengan permainan yang “susah ditonton tapi tetap ditonton”. Itulah bentuk sunk cost fallacy yang klasik: kita tetap bertahan karena sudah terlalu lama berinvestasi secara emosional.
Harga dari Makna
Ekonom perilaku seperti Richard Thaler menegaskan bahwa manusia tidak selalu rasional dalam membuat keputusan ekonomi. Mereka dipengaruhi oleh emosi, kebiasaan, dan identitas sosial. Tidak bisa dipungkiri, ada pula biaya finansial yang nyata. Jersey baru setiap musim, langganan layanan streaming untuk menonton pertandingan, dan mungkin tiket tur pramusim, semuanya membutuhkan pengeluaran.
Misalnya, seorang fans menghabiskan sekitar Rp1,2 juta per tahun untuk berlangganan platform yang menayangkan Premier League, lalu membeli jersey baru seharga Rp1 juta setiap musim. Dalam lima tahun, totalnya mencapai Rp11 juta. Opportunity cost-nya? Dana tersebut bisa menjadi modal awal investasi reksa dana, tabungan liburan, atau donasi yang lebih bermanfaat.
Namun, di dunia fandom, logika finansial sering kali tidak relevan. Karena bagi banyak fans, jersey bukan sekadar kain, melainkan simbol komitmen dan kenangan. Mereka tidak membeli produk, mereka membeli makna.
Dengan demikian, walau secara ekonomi tidak efisien, pilihan ini punya nilai sosial dan psikologis. Itulah mengapa banyak fans tetap setia meski klub kesayangannya sedang terpuruk. Di tengah penderitaan bersama, muncul semangat untuk tetap setia, saling menghibur, dan berharap “next season will be our season.” Mungkin inilah bentuk “utility” yang tak bisa diukur secara material, yakni kepuasan dari rasa memiliki, meski hasilnya jarang memuaskan.
Pelajaran dari Old Trafford
Konsep opportunity cost dari menjadi fans MU sebetulnya mencerminkan banyak aspek kehidupan. Kita semua memiliki “Manchester United” versi masing-masing, yakni sesuatu yang kita pilih dan pertahankan meski tidak selalu memberi hasil terbaik secara rasional. Bisa jadi itu pekerjaan, hubungan, atau bahkan kebiasaan yang membuat kita nyaman. Ekonomi mengajarkan kita untuk memahami bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi. Namun manusia, sebagai makhluk sosial dan emosional, tidak hanya mengejar efisiensi. Mereka juga mengejar makna. Maka mungkin benar, menjadi fans Manchester United tidak efisien secara ekonomi, tetapi sangat kaya secara emosional.
Pada akhirnya, opportunity cost tidak selalu harus dihindari. Ia justru membantu kita memahami nilai dari setiap pilihan. Setiap kali seorang fans MU berseru “Glory Glory Man United,” ia sesungguhnya sedang mengatakan: “Saya tahu harga dari pilihan ini, dan saya rela membayarnya.” (Mario Rosario Wisnu Aji, S.E., M.Ec.Dev., Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY)
Penulis: Mario Rosario Wisnu Aji
Tulisan ini terbit di https://www.krjogja.com/opini/1246719515/opportunity-cost-menjadi-fans-mu
Editor: Angelina Komala




