![]()
Apakah aksi yang tampak heroik-simbolik soal korupsi akan berdampak substantif? Pertanyaan ini relevan ketika melihat maraknya anti-corruption populism. Juan Torres Gonzales (17/4/2025) menyebutkan bahwa jenis populisme ini lebih banyak memanfaatkan wacana antikorupsi yang untuk membangun dan memperkuat citra diri semata, yakni sebagai pahlawan yang menantang para elite dan membela “rakyat sejati”. Yang diciptakan lebih berupa ilusi. Yang dijual adalah janji untuk membersihkan korupsi, sedangkan realisasinya sendiri bukanlah prioritas.
Hal ini dapat dicermati dari peristiwa penyerahan enam smelter rampasan kasus korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung. Pada Senin (6/10/2025), dengan dihadiri dan disaksikan oleh Presiden Prabowo Subianto beserta sejumlah pejabat tinggi negara dan daerah, Kejaksaan Agung menyerahkan aset sitaan tersebut kepada Wamenkeu ke PT Timah (BUMN). Enam smelter tersebut adalah milik atau dikendalikan oleh para terdakwa dalam kasus korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung—yakni smelter PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), CV Venus Inti Perkasa (VIP), PT Menara Cipta Mulia (MCM), PT Tinindo Internusa (Tinindo), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), dan PT Refind Bangka Tin (RBT).
Presiden menyebutkan nilai total barang rampasan ini mencapai sekitar Rp6-7 triliun, belum termasuk tanah jarang (monasit) yang nilainya diperkirakan mencapai Rp132,40 triliun. Aksi yang terkesan heroik-simbolis menuai pujian sebagai bukti keseriusan pemerintah membasmi penyelundupan, tambang ilegal, dan semua yang pelanggaran hukum.
Namun, nilai rampasan Rp6-7 triliun tidak ada artinya dibandingkan dengan nilai kerugian akibat korupsi timah itu sendiri yang secara resmi disebut mencapai Rp300 triliun. Sebagian besar berupa kerugian lingkungan yang mustahil untuk dipulihkan seperti semula. Artinya, ada kerugian akibat milik bersama dirampas secara membabi-buta dan tidak mungkin digantikan.
Data Menegaskan Paradoks
Soal potensi kerugian negara, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa untuk tahun 2024, nilainya sangat tinggi, mencapai Rp279,9 triliun—didominasi oleh perkara korupsi tata niaga timah di PT Timah Tbk. Korupsi rawan terjadi di sektor yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat: desa, utilitas, kesehatan, dan pendidikan. Pelaku dominan korupsi tidak lain adalah pegawai pemerintah daerah, namun keterlibatan swastalah yang menyumbang kerugian negara paling besar.
Menariknya, kendati penindakan kasus korupsi merosot tajam dan menjadi rekor terendah dalam lima tahun terakhir, ini justru lebih mencerminkan merosotnya kinerja aparat penegak hukum, bukan penurunan kasus korupsi di Indonesia.
Fenomena ini semakin jelas terlihat pada data terkait korupsi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) Indonesia, skornya meningkat, , menjadi 37 di tahun 2024, dari 34 di tahun sebelumnya. Namun skor 37 ini sama dengan tahun 2017, jauh dari capaian terbaik 40 (2019) dan rata-rata global 43, pun rata-rata kelompok negara flawed democracy (47). Dalam klasifikasi the Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia dalam tiga tahun terakhir masuk kelompok ini, demokrasi yang cacat.
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan penurunan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) dari 3,93 (2022), menjadi 3,92 (2023) dan akhirnya ke 3,85 (2024), jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, disebutkan target meningkatnya nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) sebesar 4,14. pada 2024. Dalam kurun waktu 2017-2024, puncak IPAK terjadi pada 2023 dengan skor 3,93. Tren penurunan ini menunjukkan gejala melemahnya perilaku dan budaya antikorupsi di masyarakat, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan, sejak 2023. Secara keseluruhan, disparitas IPAK antara perkotaan dan perdesaan mengecil, namun untuk perkotaan tidak berubah tajam. Artinya, yang banyak mengalami perbaikan sebetulnya hanyalah wilayah perdesaan.
Jika IPK dan IPAK 2017-2024 dikorelasikan, didapatkan korelasi negatif kuat (−0,73). Secara statistik, ini menegaskan adanya paradoks antikorupsi: ketika perilaku antikorupsi masyarakat meningkat (IPAK naik), persepsi korupsi publik terhadap lembaga negara malah memburuk (IPK turun). Dengan kalimat lain, peningkatan kesadaran sosial tentang korupsi tidak diikuti dengan perbaikan persepsi publik terhadap penyelenggara negara, yang dalam berbagai tingkatan, tetap berperilaku koruptif yang jelas merugikan negara dan masyarakat.
Bagaimana Menyikapinya?
Paradoks antikorupsi ini hadir di tengah menguatnya politik populis yang memang mudah muncul di tengah kondisi regresif. Padahal, politik populis sering dilihat seperti panadol—yang berbasis paracetamol, bisa mengurangi panas atau demam, tapi tidak mengatasi sumber utama penyakit itu sendiri. Ada studi yang bahkan menyebutkan bahwa penggunaan paracetamol untuk periode yang lama justru berefek negatif pada sistem saraf pusat yang secara signifikan memunculkan gangguan kognitif. Dengan demikian, politik populis yang di depan tampak menarik dan menenangkan, justru dalam jangka panjang dapat menjadi pemicu keadaan yang makin regresif.
Berlama-lama dengan anti-corruption populism berisiko membelah “rakyat sejati” itu hanya menjadi pemilih yang kecewa (disillusioned voters) dan pemilih yang buta (delusional voters)—yang pada akhirnya menguntungkan para elite, atau setidaknya faksi elite, dari kamar politik maupun bisnis.
Bagaimana menyikapi ini? Salah satu saran utamanya adalah terus berupaya meyakinkan masyarakat bahwa authoritarian populists bukanlah pilihan terbaik, jadi harus dijauhkan dari daftar pilihan jauh-jauh hari sebelum hari pemilihan tiba. Mungkinkah?
Penulis: Aloysius Gunadi Brata
Tulisan ini terbit di https://katadata.co.id/indepth/opini/68ecce8ed0567/paradoks-antikorupsi
Editor: Angelina Komala




